Saturday 20 December 2008

Sekedar Mengantar...

Halo semua yang kebetulan mampir disini,
seperti yang tertera di header blog ini, ini adalah catatan saya selama saya belajar mendampingi orang muda di Rumah Retret Giri Nugraha (RRGN). Dalam hal ini saya dibantu oleh tim retret RRGN untuk mengenal lebih dekat bagaimana cara mendampingi orang muda dalam spiritualitasnya.
Semua catatan ini pernah saya kirim kepada beberapa orang dan hanya saya simpan untuk dokumentasi pribadi, namun saya memutuskan untuk membukanya dan membaginya.
Maka, tidak ada yang lain yang saya harapkan selain tempat ini dapat menjadi berkat bagi siapapun yang membacanya.

salam damai,

bintang

PROLOG:


Sahabat-sahabatku dan Karib-karibku,
Beberapa email dengan judul yang serupa di atas adalah sekedar sharing dari pengalaman-pengalamanku di Rumah Retret Giri Nugraha, Palembang. Isinya tentu beraneka ragam.
saya tidak mempunyai maksud lain selain sekedar berbagi cerita pada kalian semua. so, just enjoy it. siapa tahu, ternyata kita sedang menyusun puzzle yang sama dengan kepingan yang berbeda. Well,...?

(1) ES JERUK BIASA YANG LUAR BIASA


Ketika tiba di RR, saya langsung dihantar ke ‘sarang’ saya, di St.Familia. Tidak lama kemudian, saya disuguhi ‘welcome drink’ segelas air jeruk, lengkap dengan es batunya. Wuih, nikmat sekali. Tanpa pikir panjang, langsung saja saya ambil dan saya teguk isinya. Wek, dingin banget! saya kaget, tidak menyangka bakal sedingin itu. saya baru ingat, kalau belakangan saya jarang minum es. Wah, kok jadi katrok gini,…. Padahal dulu saya suka sekali minum es.
Ternyata, meskipun dulunya penggemar minuman dingin, saya tidak bisa langsung meneguk yg dingin. Akhirnya saya harus memilih, meminum perlahan-lahan atau meninggalkan es jeruk itu hingga tidak ber’es’ dan tidak lagi nikmat. saya memilih meminumnya perlahan-lahan sampai saya menghabiskan es jeruk itu dengan satu tegukan terakhir yang besar dan nikmat. Puas!
Ternyata, kembali ke kebiasaan yg dulu pernah kita lakukan tidaklah semudah itu. Perlu proses untuk kembali menjadi “biasa”. Perlu sejenak untuk kembali beradaptasi pada sesuatu yg pernah menjadi kebiasaan.
Ternyata kebiasaan untuk dekat dengan Tuhan pun menjadi seperti es jeruk itu. saya sering merasakan jauh dari Tuhan lalu mulai mengatakan dalam diri: “Dulu aku ngga gini kok. Dulu aku rajin doa dan rasanya dekat dengan Tuhan. Dulu aku bisa menghadapi kesulitan dengan hati ringan. Kok sekarang ngga ya?...Wah, aku harus kembali seperti dulu”
Mudah? Enggak tuh! Tidak bisa langsung biasa lagi. Buktinya di RR saya tidak langsung bisa tidur pada waktunya, mengikuti dinamika retret sebagaimana pernah saya lakukan, berdoa seperti yang pernah saya lakukan, dst. Padahal semuanya itu pernah menjadi suatu yang biasa.
Ternyata, yang biasa pun bisa jadi luar biasa, dan yang luar biasa itu perlu waktu untuk menjadi biasa. Perlu ‘meminum’ sedikit-sedikit untuk kembali menjadi biasa pada sesuatu yang sudah pernah biasa.
Well…?

(2) MUKA IRIT


Sore itu, saya mendampingi retret SMP. Isinya tentang sharing perjuangan hidup panggilan dan kebetulan yang menjadi bintang tamu alias pembicaranya adalah Romo Priyo.
Selesai sesi, saya mengantar Rm.Priyo turun ke tempat suster. Sebagaimana layaknya tuan rumah dan tamu yang baik, kami berbincang hal-hal yang ringan seputar peserta retret. Mulai dari kapan selesai retret, berapa jumlah pesertanya, siapa yang mendampingi dll. Semua pertanyaan bisa saya jawab dengan baik, sampai Beliau dengan polosnya bertanya:
“Wali kelas kamu siapa?”. Haa?? Kali ini saya cengo’ dengan pertanyaan Beliau yg kok rada ngga nyambung. Ooo….saya tahu, dan langsung saja saya jawab: “Rm.Wahyu!”. Haa?? Gantian Beliau yang cengo’ mendengar jawaban saya. Hahaha…. saya tidak bisa menahan senyum. Langsung saja saya katakan: “Romo, saya ini salah satu dari tim retret bukan retretan”.
“Hah? Ooo… saya kira kamu itu salah satu dari mereka yang di atas tadi!” kata Rm.Priyo. Gubrak deh! Untuk kesekian kalinya saya disangka retretan.
Memang banyak orang yang bilang klo muka saya ini muka irit. Muka yang tidak banyak berubah dari dulu. Waktu SMA saya dikira SMP, waktu kuliah saya dikira SMA, waktu kerja saya dikira kuliah, nah sekarang malah disangka SMP. Hahaha, ini adalah salah satu kreatifitas Tuhan dan yang pasti, berkat bagi saya, karena retretan dan banyak orang yang hadir dalam hidup saya menjadi tidak segan untuk dekat dengan saya karena merasa saya lebih muda dari mereka.
Pasti banyak hal unik yang Tuhan ciptakan dalam hidup kita, yang mungkin baru kita sadari setelah banyak orang mengatakannya. Seperti jendela Jauhari; kamu tahu aku tidak tahu, pindah menjadi jendela aku tahu kamu tahu. saya jadi semakin merasa bahwa saya masih sering perlu penolong untuk tahu bahwa Tuhan itu ada.
Well…?



Info terselip:
Semua yg saya tulis dalam Puzzle Ginu terjadi sekitar tgl 23 Okt 07 s/d 23 Nov 07. Waktu persisnya saya tidak ingat karena tidak terekam dalam memori saya yg hanya muat beberapa byte.

(3) CARA AMPUH UNTUK MEMINTA


Pagi itu saya berada di sekretariat untuk menyiapkan materi retret. Seorang karyawati RR, namanya Tina, datang membawa termos air panas untuk mengganti air termos yang kemarin. Sambil menyapa, ia masuk dan melakukan apa yg harus ia lakukan.
“Mbak, ajarin aku bahasa Inggris dong!”
Suara Tina yang tiba-tiba membuat saya spontan mengangkat kepala dan memandang dia. saya tersenyum dan balik bertanya: “Ajarin bahasa Inggris?” Tina mendekati saya lalu menjelaskan “Iya, mbak. Biar bisa ngomongnya gitu lho, Mbak. Aku waktu itu pernah kirim sms pake bahasa inggris, trus dibales sama temenku: ‘kamu itu orang indonesia apa orang inggris tho? Klo orang inggris kok bahasa inggrisnya salah semua!’ Sejak itu aku malu klo mau ngomong.”
Dengan senang hati saya mau membantu Tina dan mulai saat itu, bila bertemu dengan Tina, saya akan memberi pertanyaan dalam bahasa Inggris dan Tina menjawabnya. Bahkan, bila saya tidak memberi pertanyaan, Tina justru menagih: “Mbak, kasih pertanyaan dong!”
Sebenarnya yg membuat saya mau membantu Tina bukanlah kemampuan saya dalam berbahasa Inggris, melainkan cara Tina untuk meminta pada saya. Itulah yang berkesan dan mengena di hati saya.
Tina bukanlah karyawati yg mengenal saya. Yang ia tahu hanyalah bahwa saya datang dari Jakarta untuk membantu tim RR dan saya bisa bahasa Inggris. Itu saja. Tapi dgn hal yg sedikit itu, dia berani meminta apa yg dia kehendaki. Bahkan lebih jauh lagi, dia mau mendekati saya lalu menjelaskan mengapa dia meminta hal itu.
Ketika saya mengingat kejadian ini, saya merasa kerdil di hadapan Tuhan. Kadang saya merasa harus mengenal Tuhan lebih jauh dan lebih dalam lagi. saya sering tidak puas dengan TUHAN yang saya kenal sekarang ini. Ketidakpuasan membawa saya pada rasa tidak berani untuk mengajukan permohonan, atau lebih parah lagi, saya tidak benar-benar mempercayai bahwa TUHAN bisa melakukan sesuatu. Kedua, saya ingat betapa sering saya meminta ini dan itu pada TUHAN, tapi saya hanya berseru mendikte tanpa mau mendekat padaNYA apalagi menjelaskan mengapa saya memerlukan ini itu tadi. “TUHAN serba tahu” menjadi alasan untuk menyingkat doa, namun sesungguhnya saya yang malas untuk menjelaskan, atau sebenarnya ada rasa sungkan untuk mengakui bahwa saya perlu memohon pertolonganNYA alias rasa sombong. Ketiga, lemahnya usaha saya untuk memohon hal yang sama bila belum terkabul. Acap kali kita berdoa untuk sesuatu/mendoakan org lain hanya pada saat itu saja. titik. Satu kali sudah cukup. Tidak mau diri menjadi repot hanya untuk mengulang permohonan yang sama.
Bila saya, manusia yg kerdil kasih ini, menjadi luluh karena cara Tina meminta, bagaimana TUHAN yang Maha Kasih tidak meluluh hatiNYA bila kita berani meminta dengan cara Tina, meski hanya sedikit yang kita ketahui tentang ke”MAHA”an TUHAN?
Well…?

(4) MANGGA DAN SAHALA


Sahala, karib saya yg satu ini getol banget sama yg namanya mangga. Tiap kali ada mangga di RR, whus… langsung dia sambar sambil berseru: “Wah, ini enak ini!”. Saking getolnya dia pada mangga, image Sahala melekat pada mangga –Sorry, La’ bukannya ngeledek!- sampai pulang ke Jkt klo lihat mangga saya langsung ingat Sahala. Terus, so what gitu lho?
Nah, saya jadi ingat sebuah kalimat waktu SMA kls 1 –Siska, Ton2, Macan, mungkin inget pak Sylvester guru agama kita itu lho…-. Kalo gak salah bunyinya: “Res Clamat ad Dominum” artinya klo saya ngga salah inget: “Semua benda berteriak pada Tuannya”. Dalam hal ini, bagi saya, mangga selalu berteriak pada Sahala.
Begitu banyak wujud kasih (benda2, perhatian, kepedulian, pengalaman bersama) yang selama ini diberikan pada saya, dan sebenarnya wujud itu selalu berteriak mengingatkan saya pada siapa ‘tuan’nya, orang yang memberikan kasih itu pada kita. Begitu banyak hal yang saya gunakan dan nikmati dalam kehidupan ini, namun betapa sering saya melupakan mereka yang memberikannya.
Coba saja, kalau saya memandang barang-barang di meja dengan sungguh-sungguh, saya baru ingat ada pena biru dari Wayan, teman sebangku saya waktu SMA; lilin dari Leny, teman kuliah saya; pensil warna sisa yang dibelikan org tua saya ketika saya masih TK, dll. Semua barang-barang itu memberikan warna-warni kenangan dan berbagai kegunaan dalam hidup saya. Tapi saya seringkali lupa dengan mereka yang memberikan semua itu. Padahal tanpa mereka, wujud kasih ini takkan ada di hadapan saya. Bila saya jarang mengingat mereka, bagaimana saya bisa berdoa untuk mereka, bagaimana saya bisa membalas kasih mereka, dan terlebih lagi, bagaimana saya bisa berterima kasih pada “Sang Pemberi” yang telah banyak memberikan ini dan itu dalam kehidupan saya.
Nah, mungkin sekarang saya/kita harus lebih banyak mendengar wujud-wujud kasih yang berteriak pada tuannya mengingatkan kita pada mereka yang sedang dan pernah hadir dalam kehidupan kita. Yang lebih penting, kita juga bersyukur karena Sang Pemberi itu sendiri, bukan hanya sekedar apa yang IA berikan. Menurut saya, bukan apa yang diberikan yang berharga, melainkan SIAPA pribadi yang memberikan. (kalo pake kurir, lain lho ya masalahnya!)
Well…?

(5) YANG KEPANASAN SIAPA SIH?


Siang menjelang sore, usai mendampingi retretan, saya kembali naik ke ‘sarang’ saya. Ketika saya masuk Familia*, saya mendapati meja berantakan dengan sebuah kardus, beberapa buah-buahan, bungkusan sisa permen, dll. Beberapa pintu kamar terbuka lebar dan kipas angin juga dalam keadaan menyala. saya maklum, karena memang ada 4 orang tamu yg kemarin menginap di Familia, dan siang tadi mereka sudah pergi rupanya. Tanpa pikir panjang, saya bereskan kekacauan itu. Terakhir, saya mencabut kabel yang terhubung dengan kipas angin. Kipas pun segera kehilangan tenaganya dan berhenti berputar. Kemudian saya keluar ke balkon untuk mengambil handuk. Ketika saya masuk kembali, sekitar 5 detik kemudian, trust no trust (percaya gak percaya!), kipas angin itu menyala dan kabel dalam keadaan tertancap pada stopkontak. Lho?!?
Tapi sebelum bulu kuduk sempat berdiri tegak, dengan polosnya saya katakan: “Sorry ya, kipasnya tak matiin soalnya aku ngga kepanasan. Klo kamu kepanasan ya nyalain lagi aja!” lalu saya kembali mencabut kabel kipas tsb. Kali ini saya tunggu sampai baling2 benar-benar berhenti. Lalu saya pergi mandi. Sambil mandi saya berpikir lagi, apa tadi saya belum mematikan kipas sehingga masih menyala? Tidak. saya yakin sudah, dan saya yakin tidak ada yang masuk ke Familia ketika saya keluar ambil handuk.
Hmm,… ternyata hal-hal yang tidak terpegang nalar dan akal (sebut saja hal ajaib untuk membedakannya dengan hal gaib) sering jadi hal yang menarik untuk dibahas. Why? Kalau menurut saya, itu karena hal-hal ajaib tsb berada di tengah-tengah. Di satu sisi, hal ajaib ada di luar kendali manusia, tapi di sisi lain, ada di dalam lingkup kendali Tuhan.
Mungkin itu juga sebabnya kenapa kita lebih tertarik dengan judul: “Memindahkan janin yang tidak diinginkan tanpa aborsi” daripada judul: “Angin ribut diredakan”. Masalahnya, kita sudah ‘terlanjur percaya’ bahwa Tuhan bisa melakukan segalanya, dan karena itu, perbuatan/hal-hal ajaib yang berkenaan denganNya tidak lagi menarik. Jujur saja, saya sering bosan dengar cerita tentang Tuhan yang hebat. Semua pertanyaan tentang kehebatan Tuhan selalu berhenti pada jawaban: “Ya, karena TUHAN itu Maha Kuasa” dan jawaban itu membuat saya tidak lagi ingin bertanya: “Bagaimana caranya Tuhan bisa melakukan hal itu?”
Herannya, TUHAN tidak pernah bosan dengan saya yang biasa-biasa saja.
Well…?


* buat yg blm tahu: St.Familia itu bentuknya seperti villa; sebuah gedung dengan beberapa kamar dan kamar mandi dan letaknya di lantai 2.

(6) YANG KEDINGINAN SIAPA SIH?


Keping puzzle ke 6 ini rupanya mengait keping ke 5. Namanya juga puzzle jenis jigsaw. Itu lho yg disambung2 jadi satu gambar. Nah, masih seputar kipas angin. Tapi kalau keping ke 5 ttg kipas angin di luar kamar saya, keping kali ini menyangkut kipas angin yang ada di dalam kamar saya. Begini ceritanya…
Biasanya saya menyalakan kipas angin kalau memang saya kepanasan. Nah malam itu udara kurang bersahabat, maka saya tidur dengan kipas menyala. Remote kipas saya taruh di sisi tempat tidur. Sekitar pk.4.00 saya terbangun dan kipas dalam keadaan mati. saya kira mati lampu shg kipas anginnya ngga jalan. Tapi samar-samar saya melihat lampu di luar menyala; cahayanya masuk dari sela-sela pintu. Oh, berarti tidak mati lampu. Sambil melek kiyep-kiyep saya meraba sisi tempat tidur mencari remote untuk menyalakan lagi kipas angin itu. Entah kenapa, tombol2 remote yg saya pencet berulang kali tidak mau menyala. “Ah, ada yang kedinginan ya?” gumam saya. Berhubung saya masih ngantuk, saya tidak peduli dengan rasa kepanasan maka saya tidur lagi.
Paginya ketika saya bangun, saya ingat dan penasaran dengan kipas angin itu. “Niit!”. Kipas merespon dengan perintah remote control. Tidak ada masalah dengan kipas angin maupun remote itu. Oh, rupanya semalam memang ada yang kedinginan. Tapi kalau bukan saya, lalu siapa? Kan saya tidur sendirian di Familia itu.
Well…?

(7) SALAH SANGKA SAMA NANGKA


Sayur nangka adalah salah satu menu yang tidak saya sukai. Ngga tahu kenapa tapi sejak kecil saya selalu menghindar dari sayur nangka. Apapun bentuk dan rupanya, saya ngga doyan. Bagi saya, nangka yang dijadikan sayur itu rasanya aneh dan tidak enak. Mungkin karena lidah saya lebih dulu mengenal buah nangka daripada sayur nangka.
Seperti yang sudah saya duga, cepat atau lambat pasti saya berjumpa juga dengan nangka. Benar saja, menu sarapan pagi itu gudeg lengkap dengan assesorisnya. saya menunggu sampai para retretan selesai mengambil jatah mereka dan ketika tiba giliran saya, saya cuma bisa pasrah krn yg tersisa hanya nangka. Pilihannya 2: saya makan walau ngga suka tp berusaha berdamai dengan nangka atau saya tidak makan dengan resiko lapar dan tetap musuhan dengan nangka. Alah, nangka aja kok repot banget sih mikirnya! Nangka sama badan lo juga gedean elo kan?! Lagian nangka salah apa sih ama lo?! saya jadi ingat perkataan saya kepada murid-murid saya yg tidak suka makan sayur: “Kamu tidak suka makan sayur karena kamu tidak terbiasa makan sayur!” Sekarang saya harus bisa konsisten dengan perkataan saya itu.
Whuih, untuk menenangkan pikiran saya yg meletup-letup saya mengambil sepiring nasi dan sedikit nangka. Tanpa selera saya makan. Ketika saya rasakan, ternyata nangka itu ya begitu saja rasanya. Ngga ada yg istimewa. Tidak setidak enak yang saya sangka. Ternyata saya salah sangka. Lalu mengapa saya selama ini begitu tidak suka dengan sayur nangka? Jawabannya, karena saya tidak terbiasa.
Ternyata ada banyak hal baik dalam hidup ini yang tidak saya sukai atau enggan saya dekati. Bukan karena saya tidak mampu atau karena saya tidak bisa. Tapi karena saya tidak terbiasa. Barangkali kalau saya memberanikan diri mencobanya perlahan-lahan, apa yang saya anggap tidak enak atau menakutkan mungkin justru menjadi sesuatu yang baru.
Sesuatu yang baru memang tidak selalu menyenangkan. Sepatu yang baru belum tentu langsung nyaman dipakai. Menyesuaikan lidah dengan menu-menu yang baru blm tentu bisa langsung cocok. Bicara dengan orang yang baru kita kenal juga blm tentu menyenangkan. Tapi kalau kita memberanikan diri memberi waktu bercengkrama dengan hal baru, mungkin kita akan menemukan sesuatu yang berbeda dari yang kita pikirkan. Siapa tahu selama ini ada praduga bersalah terhadap sesuatu.
Well…?

(8) LANGKAH SERIBU UNTUK SERIBU KAKI


Belum selesai proses ‘rekonsiliasi’ saya dengan nangka, sudah muncul satu hal lagi yang tidak saya sukai. Tapi kali ini saya dibuatnya benar-benar mati gaya. Pasalnya, saya sedang memimpin doa pagi ketika tiba-tiba saya melihat ada sesuatu yang ‘nggremet’ di dekat tangga Altar. Aih, itu kaki seribu. Sejak kecil kalau lihat hewan mungil yang satu itu, saya selalu takut. Entah alergi atau phobia, tp kalau saya melihat kaki seribu, saya langsung merinding, muka dan kulit pun menjadi panas dan gatal. Bila berada di tempat lain, mungkin saya bisa menghindar dan mengambil langkah seribu. Lha ini bagaimana, saya duduk di kursi altar dan keadaan sedang di tengah-tengah doa.
Akhirnya sambil menahan panas dan gatal saya tetap berusaha memimpin. Dalam hati saya berdoa: “Tuhan, jangan sampai dia naik ke sini ya, soalnya aku takut.” Dalam pikiran saya, kalau sampai kaki seribu itu mendekat, saya akan segera ambil langkah seribu. CT deh!
Setelah doa pagi, retretan diberi tugas untuk menulis surat. Selama menemani para retretan, saya tidak berani beranjak dari kursi, padahal biasanya saya turun ke antara retretan.
Sambil menunggu, saya memperhatikan kaki seribu itu. Dia masih saja meripit di tepi tangga altar. Dia berjalan dengan kecepatan yang stabil. Tidak semakin cepat, tidak semakin lambat pula. Dia berjalan mengikuti tepian tangga altar. Nggak nyeleneh sana sini. “Kaki seribu itu sopan ya; dia berjalan melewati Yesus dengan tenang dan hormat” gumam pikiranku.
saya tidak mempertanyakan apakah kaki seribu itu memang punya sopan santun atau tidak, tapi pertanyaannya sekarang: “Apakah aku sopan kalau melewati Yesus?”. Entah berapa kali saya melewati Tabernakel atau melintasi Gereja tanpa memikirkan bahwa di sana ada Yesus yang tersamar. Bahkan seringkali, saking serunya pada kesibukan ini dan itu, saya mengambil langkah seribu dari hadapan TUHAN. Doa dibuat singkat, Misa klo bisa cepat, ke Gereja kalo perlu, dst. Padahal, TUHAN itu tidak pernah berhenti menantikan saya untuk sejenak menghentikan dua kaki dan satu hati saya di hadapanNya.
Well…?


(9) NICKNAME


Dalam acara pembukaan, para retretan diminta untuk mengisi formulir data diri. Kalau tidak salah, salah duanya terdapat kolom nama lengkap dan nama panggilan. Sambil melihat seorang retretan mengisi kolom tsb, saya berpikir soal nama panggilan saya sendiri.
Selama di RR, saya dipanggil dengan bermacam-macam cara. Ada yang memanggil irin, airin, irèn; ada yang kak airin, mbak airin, mbak irèn, kak damai, dsb, bahkan ada juga yg memanggil o-we-el. Kalau dikumpulkan dengan segala julukan yang pernah saya terima, selama hidup ini saya telah memiliki 19 nama panggilan.
Memikirkan soal nama panggilan, ternyata saya juga mempunyai nama panggilan dari TUHAN. Bila saya berdoa sambil membayangkan saya bercakap-cakap denganNya, saya mendengar Dia memanggil saya dengan sapaan: “dik” (dek). Sebuah nickname/nama panggilan yang sangat menyentuh hati saya. Sebuah nickname yang menunjukkan bahwa saya ini masih ‘adik’ yang selalu lebih kecil, lebih rapuh, lebih butuh tuntunan dan bimbingan. Sebuah panggilan yang juga menunjukkan TUHAN yang menempatkan diri sebagai seorang Ayah dan Kakak untuk diteladani. Sapaan itu meyakinkan saya bahwa TUHAN selalu ada melindungi dan menemani saya menempuh pembelajaran dan ujian kehidupan ini.
saya juga mengalami bahwa mereka yang dekat dengan saya dan memanggil saya ‘dek’/’dik’ ternyata adalah orang-orang yang sangat memberikan pengaruh positif dalam kehidupan saya, karena itu saya pun menghargai dan menempatkan mereka secara khusus dalam hidup saya.
Lepas dari yang saya sharingkan ini, saya yakin bahwa setiap manusia mempunyai nickname khusus dari TUHAN.
Well…?

(10) SEBERAPA KENCANG KANCING KITA KANCINGKAN?


Rm.Haryoto baru pulang Misa pagi ketika Beliau melihat saya di Sekretariat. Beliau pun masuk dan kami berdiskusi sejenak tentang suatu hal. Sambil berdiskusi, sekilas saya tertarik dengan Alba (jubah putih) yang dikenakan Romo. Kancingnya banyak! saya pernah diberitahu bahwa jubah Romo itu kancingnya ada 33, menandakan 33 tahun Yesus hidup di dunia. saya tidak menghitung apakah kancing pada alba Rm.Har beneran 33 buah (ya iyalah, kan lagi diskusi!) tapi yg sempat saya perhatikan justru keadaan tiap-tiap kancing. Ada yang terkancing dengan benar, ada yg hanya ngintip alias setengah masuk lubang kancing, bahkan ada yang sama sekali tidak masuk lubang alias tidak terkancing (tapi jangan tanya kancing-kancing yang mana ya!).
Usai berdiskusi, saya merasa bahwa ada hubungan antara apa yang saya diskusikan dengan kancing yang saya lihat tadi. Kami berdiskusi tentang sesuatu yang tidak perlu diketahui orang banyak (bahasa katroknya: ‘de sikret’). Umumnya, kancing baju dibuat agar pakaian lebih rapi dan lebih elok dipandang. Rupanya, TUHAN juga memberikan kancing pada mulut kita. Bahkan dalam bhs Inggris ada istilah “Zip your mouth!” (resletingkan mulutmu) untuk mengatakan “Tutup mulutmu!”. Tapi salah satu fungsi mulut kan untuk berbicara? Iya itu benar, namun apakah semua harus dibicarakan?
saya jadi ingat betapa banyak rahasia yang orang percayakan pada saya, dan betapa sering saya digoda untuk membuka rahasia itu pada org lain, apalagi kalau orang yang lain itu saya anggap lebih baik daripada orang yang mempercayakan rahasianya. Ada juga rahasia-rahasia pribadi yang sebenarnya ingin saya simpan, tapi terbongkar karena saya tidak bisa menahan diri. Ini seperti kancing yang ngintip. Disenggol sedikit saja, sudah terlepas dari lubangnya.
saya kira, 3 detik yang saya gunakan untuk memperhatikan kancing pada Alba Rm.Haryoto sudah bisa memberikan pelajaran untuk lebih waspada dengan kancing yang ada di mulut saya. saya harus tahu dan sadar kapan kancing boleh dibuka dan kapan kancing harus tetap terkancing. saya juga harus tahu apa yang tepat untuk dilakukan bila kancing sudah mulai mengintip; segera mengancingkannya dengan lebih baik, atau justru membukanya. Dengan demikian, sama seperti baju yang saya kenakan, -lepas dari namanya mode- keadaan kancing bisa menentukan bagaimana cara saya berpakaian. Kancing di mulut saya, memberikan gambaran orang macam apa saya ini.
Well…?

(11) MEDITASI TIDUR


Nah, keping yang ini tentang anak-anak buahnya Br.Gatot alias para seminaris. Selama retret, para seminaris diminta untuk membuat refleksi selama 30 menit di akhir setiap sesi. Mereka bebas mau berdoa dan berefleksi dimana saja asalkan di dalam lingkungan RR.
Pagi menjelang siang, saya duduk di ruang dosa, eh.. ruang doa, sambil membaca buku (buku rohani! Bukan yg biasa saya baca itu…hihihihi…!!!). Bersama saya, ada 3 seminaris yang sedang menulis refleksinya. Ruang doa itu sebenarnya adalah ruang pertemuan/ruang sidang yg disulap menjadi ruang doa. Tempatnya nyaman, dengan karpet yg besar, meja kecil untuk altar, ditambah dengan angin yang hilir mudik lewat jendela. Lama-kelamaan saya merasa ngantuk dan wajah saya menjadi semakin dekat dengan buku. saya menoleh dan melihat para seminaris itu masih asyik dengan refleksinya masing-masing; ada yang menulis dan ada yang bermeditasi/berdoa. saya tidak bisa menahan godaan untuk sekedar tidur ayam-ayaman (gw sekedar merem dalam posisi tidur, bukan tidur dengan posisi spt ayam, Astri!). saya pun rebahan terlentang dengan lengan saya rentangkan lebar di samping badan saya, seperti posisi salib. CT deh! Seminarisnya lagi pada bikin refleksi ini! Wah, enak sekali rasanya dapat sejenak melepas lelah di benak setelah berkutat dengan buku itu.
Beberapa lama kemudian, saya kembali sadar penuh. Rupanya tadi saya nyaris tertidur beneran. saya bangun, menoleh pada para seminaris dan saya terkejut. 3 seminaris itu tidur dengan posisi yang persis sama dengan saya (!!!) Belum habis rasa heran saya, gong sudah berbunyi tanda sesi berakhir dan waktunya snack. saya dan 3 seminaris itupun berdiri untuk keluar dari ruang doa. Di pintu, salah seorang dari seminaris itu bertanya pada saya: “Kak, tadi kakak meditasi apa, yg tiduran itu tadi?... kayaknya kok asyik banget, jadi kita pengen ikutan!”
Dengan wajah tenang dan jaim –jaga image- saya jawab: “Oh, itu… Nanti siang saya ajarin!” tapi dalam hati saya menahan tawa. Bagaimana tidak geli, saya itu tidur kok disangka meditasi….. Hahaha…. ternyata hal buruk yang saya lakukan -yakni tidur di ruang doa- malah disangka sebagai teladan yang baik untuk mereka. Hahaha....
Yah, tapi mereka tidak salah jika bertanya demikian. Kemarin siangnya saya habis mengajarkan mereka meditasi, maka mungkin dalam bayangan mereka, saya adalah orang yang suka bermeditasi. Atau saya memang tidak ada bedanya antara tidur, melamun, merenung dan meditasi.
Well…?

(12) PERTANYAAN AJAIB


Pada 2-3 hari awal di RR, saya berjumpa dengan seorang muda bernama Cahyo. Dia berasal dari Belitang. Orangnya sangat sederhana dan ramah. Satu hal yang membuat saya begitu terkesan adalah tanggapan dia terhadap saya dan pertanyaannya ketika kami berkenalan. Seperti halnya bila orang berkenalan, Cahyo bertanya: “Mbak siapa namanya?....Asalnya darimana?... Dalam rangka apa datang kesini?”
Semua pertanyaan itu saya jawab dengan baik. Tapi pernyataan dan pertanyaannya yang terakhir ini membuat saya terperangah dan bingung harus menjawab apa.
“Mbak, mbak ini orang Jakarta tapi wajahnya kok seperti orang Cina ya?... Mbak sudah berapa tahun tinggal di Jakarta?”
Nah, terbayang kan bagaimana reaksi saya? Itu baru satu dari sekian banyak pertanyaan ajaib yang muncul dalam kehidupan saya, dan itupun pertanyaan yang berasal dari manusia. saya yakin, TUHAN juga punya pertanyaan-pertanyaan ajaib bagi saya. Hanya saja saya tidak tahu apakah saya bisa menjawabnya atau tidak.
Well…?

(13) CT DEH…!!!


Terkait dengan keping yang ke… dan ke… (yg mana hayo?) klausa: “CT deh!” berasal dari seorang Retretan namanya CT (bacanya: Ce Te’). Dia mengatakan: “Bodo’ amaaat!” dengan gaya dan nada yang sangat menarik. Sehingga kalau ada orang yang mengatakan ‘Bodo amat!’ saya jadi teringat nada dan gayanya CT yang lucu-lucu nyebelin. Akibatnya saya dan rekan-rekan di RR mempunyai istilah baru untuk mengganti kata-kata ‘Bodo amat deh!’ yakni ‘CT deh!’. Pokoknya kalau ada sesuatu yang layak ditanggapi dengan kata ‘Bodo amat!’ kami ganti dengan ‘CT deh!’ otomatis dengan menyertakan nada dan gayanya CT.
Itu salah satu contoh bagaimana orang bisa meninggalkan kesan bagi orang lain bahkan dalam hal yang kecil sekalipun. Kadang saya jadi ingin tahu, kira-kira kesan apa yang saya tinggalkan bagi orang lain? Apakah kesan itu berdampak baik atau buruk?
Bagi saya, YESUS juga meninggalkan kesan yang baik. Hanya seringkali, kesannya hanya sampai di pikiran dan perkataan, belum sampai perbuatan tapi malah jadi kelalaian.
Well…?

(14) MIMPI ORANG MUDA


Rm.Laton, yang sering membantu pelayanan pengakuan dosa, beberapa kali berjumpa dengan saya. Hampir dalam setiap perjumpaan kami, Beliau menanyai saya: “Semalam mimpi apa?” Kalau saya jawab saya tidak mimpi apa-apa, Beliau menyanggah: “Ah, masa ngga’ mimpi apa-apa? Mungkin kamu lupa. Orang muda harus punya mimpi!... Besok kalau mimpi, cerita sama saya ya!”
Selama di RR memang saya beberapa kali mimpi. Hanya saja, seperti kata Rm.Laton, beberapa saat setelah saya bangun, saya tidak ingat lagi mimpi saya. Boro-boro ingat; mengingat untuk melakukan pengingatan terhadap mimpi saja saya tidak ingat apalagi untuk ingat mimpi apa.
Pertanyaan yang muncul di benak saya adalah, apakah mimpi yang Rm.Laton maksudkan selalu mimpi yang disebut sebagai ‘bunga tidur’ ataukah mimpi yang Beliau maksudkan adalah yang lebih dikenal sebagai ‘impian’?
Kalau yang dimaksud adalah impian, saya setuju dengan perkataan Beliau: Orang muda harus punya mimpi. Orang muda tidak harus berarti orang yang berusia muda ataupun orang yang punya jiwa muda. Orang muda bisa saya artikan sebagai orang yang selalu punya harapan. Orang yang punya harapan adalah orang yang mampu menghayati kehidupan.
Hidup adalah mimpi tapi mimpi bukanlah hidup. Orang yang hidup adalah orang yang selalu memiliki mimpi ‘impian’ untuk diraih, namun orang yang selalu bermimpi tanpa berani berbuat sesuatu bukanlah orang yang memiliki kehidupan.
saya memiliki banyak impian dalam hidup saya tapi impian itu sering terlupakan. Why? Yah, karena saya terlalu terfokus pada kesibukan saya sehingga saya lupa bahwa mungkin saya sudah menyimpang dari jalan yang seharusnya saya tempuh untuk meraih mimpi saya.
Seperti seorang atlit Sprint. Ketika peluit dibunyikan, dia sudah tidak akan sibuk lagi tentang siapa lawannya, bagaimana dia harus berlari, teknik apa yang paling baik. Dia hanya memandang pada pita garis finish dan berlari sesuai jalurnya.
Sebagai orang muda, saya punya mimpi, namun saya juga masih menjumpai orang muda yang tidak punya mimpi.
Well…?

(15) TO LIVE IS TO SHARE


Siang itu, Rm.Wahyu memberitahu saya bahwa ada kiriman dari orang tua saya. saya segera turun dan mengambil kiriman yang berupa paket sebuah kardus dibungkus kertas putih. Teman saya meledek: “Cieee… yang dapet kiriman!” ditimpali pula oleh Rm.Wahyu: “Itu isinya boneka, kalo ngga ada boneka itu, gak bisa tidur dia!”. hehehe… saya hanya tersenyum dan berharap bahwa yang ada di dalam kotak ini bukanlah si Misael, boneka burung hantu putih yang setia bertengger di rak buku saya (bukan tidur sama saya lho ya! Di rak buku saya!).
Kiriman itu ternyata berisi beberapa bungkus cemilan, 5 buah kipas kecil, 2 buku dan surat. Dalam surat itu orang tua saya bercerita singkat tentang Misa Lustrum Paroki dan memberi pesan: “Share the stuffs for others! Be nice to them all!” (suratnya dlm bhs Inggris campursari bhs Ind dan Jawa hehehe…)
saya jadi ingat perkataan Pater Leo Dehon: “To live is to share”. Kalimat ini muncul juga dari Rm.Haryoto dalam salah satu perbincangan kami, juga dalam kertas hitam yang ditulis oleh Rm.Wahyu. Berarti selama di RR saya mendapat 3 pesan yang sama.
Barangkali memang saya belum banyak men-share-kan kehidupan saya. saya juga sering bersembunyi di balik perkataan: “saya ini tidak punya apa-apa” “saya ini bukan siapa-siapa” “saya ini tidak bisa apa-apa”. Dalam kalimat yang terkesan merendahkan hati ini ternyata ada keengganan dan kemalasan.
Sudah saatnya saya berhati-hati dalam menggunakan kalimat-kalimat tsb supaya saya bisa membedakan apakah saya bicara realita karena saya memang tidak mampu berbuat sesuatu, atau saya bicara demikian untuk menyembunyikan rasa malas tapi malu mengakuinya. Dan yang lebih penting, jangan sampai kalimat-kalimat tadi menjadi penghalang untuk men-share-kan hidup ini.
Well…?

(16) DENGAN ATAU TANPA BANTAL?


Pagi itu, sinar matahari sudah masuk menembus korden-korden kamar saya. Pertanda sudah lebih dari pk.06.00 dan isyarat bahwa saya mestinya sudah bangun. Tapi saya kan libur jadi sah-sah saja bila bangun siang. Sambil kiyep-kiyep, saya kembali menarik selimut dan meraih… lho, bantal saya mana ya?
Weh, rupanya bantal itu sudah terjun ke lantai. Mau tidak mau, saya membuka mata dan langsung pasang muka bego (melongo!) Gimana bisa kedua bantal saya berada di lantai, di samping tempat tidur dalam keadaan tersusun rapi, bahkan tali sarungnya pun menghadap ke arah yang sama! Padahal selama berada di Familia, saya hanya tidur dengan satu bantal di kepala, bantal yang lain selalu saya sandarkan pada dinding dekat kaki. Alangkah kecil kemungkinan kedua bantal itu bersatu di lantai dengan keadaan rapi, kecuali bila semalam ada sesuatu yang terjadi dan tidak saya sadari.
Well…?


(17) PANDANGAN SI DIA


Sambil menikmati makan siang, saya merasa ada yang memandangi saya. Tadinya saya diam saja, tapi lama-lama saya ingin menatap balik pada apapun yang sedang memandangi saya itu. saya pun menoleh. Ternyata pandangan itu berasal dari Salib di Kapel (ooo…kirain!). Pintu Kapel dalam keadaan terbuka lebar, dan di antara warna kayu sebagai latar, Salib Kristus tampak begitu jelas. Wah, aku makan diliatin Yesus!
Demikian pula pada suatu malam, saya pergi bersama rekan-rekan ke gereja Sanfrades. Disana, saya duduk di luar gereja dan kembali saya merasa ada yang memandangi saya. saya menoleh dan melihat melalui pintu Gereja yang terbuka, sebuah Tabernakel. Ah, Yesus, begitu sering Engkau memandang aku, tapi…
Tidak ada hal lain yang terbersit dalam benak saya, kecuali tulisan A. de Mello SJ:
PANDANGAN JESUS
Dalam Injil Lukas kami membaca tentang peristiwa berikut ini:
Petrus berkata:
‘Tidak, aku tidak tahu apa yang kamu katakan.’ Seketika itu juga, sementara ia masih berkata-kata, berkokoklah ayam. Lalu berpalinglah Tuhan memandang Petrus.. dan Petrus pergi keluar dan menangis tersedu-sedu.

Hubunganku dengan Tuhan cukup baik. Aku biasa memohon sesuatu kepadaNya, berbicara denganNya, memujiNya, bersyukur kepadaNya…

Tetapi sudah lama aku merasa agak kurang enak. Sebab, aku selalu merasa, bahwa Ia ingin agar aku memandang mataNya… dan aku tidak mau. Aku mau bicara, tetapi aku melihat ke arah lain kalau kurasa Ia memandangku. Selalu aku berpaling ke arah lain. Dan aku tahu apa sebabnya. Aku takut. Kusangka, disana aku akan menghadapi tuduhan dosa yang belum kusesali

Kukira, di sana aku akan menghadapi suatu tuntutan: ada sesuatu, yang diinginkanNya dariku.

Akhirnya pada suatu hari kukumpulkan seluruh keberanian dan kupandang Dia! Tidak ada tuduhan. Tidak ada tuntutan. MataNya hanya berkata: ‘Aku mencintaimu!’
Lama aku memandang mata itu. dengan tajam dan penuh perhatian. Satu-satunya pesan masih tetap sama: “Aku mencintaimu!”

Lalu aku keluar dan seperti Petrus, aku menangis.

(Burung Berkicau, hal 138-139)
Well…?

(18) METODE BARU UNTUK MEMBANGUNKAN YANG TIDUR


Tanpa maksud mengeksploitasi santri-santrinya Br.Gatot Kangguyu –tukang ngguyu-, saya menemukan sekeping puzzle lagi yang bikin kikik-kikik.
Terkait dengan keping 11, siang itu saya memberikan materi beberapa teknik doa meditasi. Ketika saya hendak memberikan teknik yang ketiga, entah siapa yang memprovokasi, para seminaris itu meminta saya untuk mengajarkan meditasi dengan posisi tidur terlentang. “Itu Kak, meditasi yang tiduran itu lho! Capek nih dari tadi duduk terus!” Ya, saya pun meluluskan permintaan mereka dengan syarat, saya tidak akan tanggung jawab bila ada yang tidak bisa bangun kembali (tentu saja ini hanya sekedar gertak kecap bukan gertak sambal).
Setelah selesai meditasi, seperti yang sudah saya duga, ada beberapa seminaris yang tertidur betulan. Maklumlah, tempat di ruang sidang yg dah jadi ruang doa itu memang nyaman dan sangat menggoda untuk jadi tempat tidur. Para seminaris yg tertidur bisa saya bangunkan dengan mudah, kecuali si Dedi. Meskipun dia dikerumuni oleh teman-teman yg memanggil2 namanya dan tubuhnya dah diguncang2, dia tetap tidak bangun. Barangkali ada sekitar 7 menit saya berusaha membangunkan dia. saya hanya ingin agar dia bangun tanpa kaget. Karena kata para seminaris, dia orangnya kagetan. Akhirnya, mengingat waktu makan siang yang sudah lewat 20 menit, saya mengatakan pada seminaris yg lain: “Ya sudah, kalian makan siang saja dulu, nanti biar dia nyusul!”
Tepat setelah saya mengatakan kalimat itu, Dedi membuka matanya dan terbangun (kurang asem lo Ded!). Teman-temannya langsung terpingkal-pingkal dan bertepuk tangan. “Huuu…Dedi, giliran dengar kata ‘makan siang’ aja deh, langsung bangun! Hahaha…” seru beberapa teman2nya. Dedi hanya melihat teman-temannya dengan wajah tak berdosa. Sepertinya dia tidak tahu apa yang telah terjadi.
“Hebat Kak! Kok kakak bisa sih kepikir mbanguninnya begitu?!” kata seorang seminaris lain. saya pun tidak bisa menahan tawa. Lha, saya pun tidak tahu kalau kalimat itu bisa membangunkan dia.
Ternyata saya menemukan metode baru untuk membangunkan orang yang tidur. Tapi saya tidak yakin itu berfungsi bagi orang lain.
Well…?

(19) KUCING-KUCING SALING KUCING-KUCINGAN


Barangkali saat saya di RR itu pas musim kucing kawin. Akibatnya di RR seringkali terdengar suara2 mengerang dan mengeong. Belum lagi banyak aroma-aroma yg kurang enak. Nggak heran kalau setiap kali melihat kucing, Rm.Wahyu dah gregetan ingin “membantai” kucing2 itu. Kucing-kucing memang gesit dan terampil menghindar. saya sempat melihat ada 2 kucing hitam yang sembunyi di antara patahan genteng. Ada yang dengan cueknya berada di dapur, padahal ada Mopi si anjing RR. Ada juga yang dengan polosnya tidur di tangga Familia. Bahkan beberapa saling mengejar dan berkelahi. Namanya juga musim… maka ini saat yang baik bagi para kucing untuk kucing-kucingan. Beberapa kucing yang saya dekati justru kabur.
Melihat kucing-kucing itu mengingatkan saya bagaimana saya sering kucing-kucingan sama TUHAN. Dia selalu berusaha mencari saya dan mengingatkan saya lewat suara hati, namun saya selalu menghindar atau pura-pura tidak tahu. ah, Tuhan, saya ini manusia tapi kok sifatnya seperti kucing. Padahal Tuhan tidak pernah membawa batu untuk membalang saya, IA selalu membawa pelukan kasih, tapi saya sering kabur sambil memandangNya penuh curiga. Padahal saya tahu bahwa saya harusnya justru berlari mendapatkanNya.
Well…?

(20) SEMUT YANG LEBIH TAHU


Senggang pada senja itu saya gunakan untuk ke kamar. saya heran menemukan banyak semut di meja saya. Langsung saya memeriksa kotak pensil maupun sela-sela buku untuk mencari penyebab kedatangan semut-semut itu. Setahu saya, tidak ada permen ataupun benda-benda beraroma manis yang saya letakkan di atas meja. Ketika saya perhatikan arah semut-semut itu, saya heran dan tidak menyangka bahwa semut-semut tertarik dengan itu. “Itu” adalah sebuah kalung salib Tau (seperti huruf T) terbuat dari kayu yang baru saya beli siang tadi. Semut-semut itu hanya berjalan-jalan mengitari salib berulang-ulang. Tidak ada lubang atau pun hal yang istimewa yang bisa menjadi alasan untuk semut-semut itu berdatangan. Tapi ya salib itu tetap saja disemutin.
Kalung salib itu pun saya ambil dan saya bersihkan dari semut-semut. Sambil membersihkan, saya merasa menyesal karena teledor meninggalkan benda suci sembarangan. Kalung itu sudah diberkati dan harusnya dikenakan atau disimpan dengan baik, tapi saya sudah menelantarkannya begitu saja di atas meja. Ternyata semut lebih tahu dan memilih untuk dekat dengan salib di meja daripada permen yang ada di lemari saya.
saya jadi malu sama semut (kok mirip lagu ya?) karena saya sering meninggalkan atau kurang merawat benda-benda suci dengan baik. Entah berapa buah Rosario yg saya geletakkan sembarangan, atau Salib yang saya biarkan berdebu; jangan tanya apa nasib Kitab Suci saya. Padahal benda-benda itu bisa mengantar saya pada hadiratNya.
Well…?

(21) CONELLO


Hari ini saya diajak Rm.Wahyu ke kebun karet milik RR. Di tengah jalan, kami berhenti di toko kecil untuk membeli susu bagi anak karyawan RR yg tinggal disana. Rm.Wahyu menanyakan apakah saya ingin sesuatu. Hmm, ya saya mau es krim. saya mengambil sebuah es krim Wall’s Conello (bagi yg gak tahu, itu es krim di atas horen di lumuri coklat). Sudah lama saya tidak makan es krim, sehingga es krim favorit saya ini jadi terasa begitu lezat, apalagi rasa tiramisu (Thank you, Romo!). Sambil melihat-lihat apa yg bisa dilihat di jalan dan mendengarkan cerita-cerita dari Rm.Wahyu, saya menikmati es krim itu.
Sebenarnya es krim ini terbuat dari bahan-bahan yang ngga enak kalau dimakan sendiri-sendiri. Tepung, gula, pewarna, susu, krim, dll. Dih, pasti gak enak kalau tidak diolah dengan baik. Tapi setelah semuanya di proses dan diolah dengan baik jadi enak untuk dinikmati.
Hidup ini seperti es krim itu. Banyak hal yang saya alami, baik dan buruk, menyenangkan dan mengecewakan, menggembirakan dan menyedihkan. Peristiwa yang membuat hati senang tidak begitu nikmat bila saya tidak merasakan arti kekecewaan. Peristiwa kecewa atau kegagalan, terasa begitu pahit bila saya tidak merasakan juga peristiwa keberhasilan. Yang paling enak adalah bila saya bisa mengolah segala peristiwa itu, entah baik entah buruk. Dan sebagai orang Katolik, bila diolah dengan iman, pengalaman-pengalaman dalam hidup ini menjadi semakin menarik untuk dinikmati. saya bersyukur bahwa ¼ abad hidup saya, saya dapat mengalami pahit –manisnya hidup. Mungkin pahit-manisnya belum mencapai titik puncaknya, namun saya yakin bila saya terus mengolahnya, saya akan menemukan banyak hal yang menarik untuk dinikmati, lebih dari nikmatnya es krim ini.
Well…?

(22) CERMIN


Cermin adalah benda yang cukup penting dan cukup mudah dijumpai. Di kamar saya hanya ada sebuah cermin kecil di atas lemari. Cerminnya sudah tidak bisa berdiri, maka harus disandarkan pada dinding. Alhasil, sulit bagi saya untuk bisa menemukan posisi dimana saya bisa melihat seluruh wajah saya. Maka saya atur saja cermin itu supaya setidaknya saya bisa melihat kening dan ubun-ubun saya (klo Siska pasti inget anak rambut saya yg banyak dan berdiri tegak seperti sibuk mencari signal itu) sehingga saya bisa membuat belahan dan menyisir dengan baik, paling ngga, atasnya rapi dan saya tinggal menguncir sisanya.
Sebenarnya di luar kamar di dekat kamar mandi ada cermin yang lebih besar, tapi saya lebih suka menggunakan yang kecil di kamar saya (bilang aja, males keluar!). saya menggunakan cermin yang besar itu hanya dua atau tiga kali. Terakhir saya menggunakan cermin yang besar adalah waktu saya mau berangkat ke bandara dan pulang ke Jakarta. saya baru menyadari bahwa rambut saya sudah bertumbuh beberapa senti. Wah, cepat juga panjangnya, padahal baru sebulan.
Sama seperti kejadian cermin kecil dan cermin besar, dalam banyak hal terutama dalam menghadapi suatu persoalan, saya sering terlalu terfokus pada hal-hal yang kecil dan melupakan hal-hal yang besar yang mungkin lebih penting. Bahkan kadang saya terlalu memusingkan sesuatu yang bila dilihat lebih luas ternyata hanyalah masalah yang sepele. Di saat seperti itulah saya memerlukan orang-orang di sekitar saya untuk menarik saya, supaya saya bisa memandang dan menghadapi suatu masalah dengan lebih baik, tepat dan bijaksana.
Well…?

(23) DALAM TIGA PULUH MENIT


Terkait dengan keping 11, tugas para seminaris selama retret adalah membuat refleksi selama 30 menit. Atau mungkin lebih mudah saya katakan bahwa mereka diminta untuk berdoa selama 30 menit. Dalam pengamatan saya, memang tidak semua bisa melakukannya dengan baik. Ada yang masih diganggu dan mengganggu satu sama lain, ada juga yang memang sulit untuk masuk dalam suasana doa.
saya jadi tertarik untuk mencobanya. Dulu, saya selalu meluangkan waktu untuk berdoa 30 menit setiap hari. Tapi kebiasaan itu sudah saya tinggalkan dan tidak pernah saya lakukan lagi. saya penasaran, apakah saya masih bisa melakukannya?
Maka ada suatu kali dimana saya ikut berdoa bersama mereka. Wah, ternyata sulit. Apa yang dulu menjadi kebiasaan menjadi sesuatu yang luar biasa baru, seperti es jeruk keping 1. Pikiran saya beberapa kali melayang kesana-kemari; rasa gatal dan pegal di badan yang menggoda saya untuk bergerak terasa mengganggu sekali; suara-suara di sekitar saya seolah-olah mengajak saya untuk mengalihkan perhatian.
Padahal hanya tiga puluh menit. 1/48 dari waktu selama 1 hari. saya semakin merasa kecil di hadapan TUHAN. DIA yang senantiasa menjaga saya justru jarang saya jumpai. Padahal saya berada dalam lingkungan yang senantiasa dapat mengingatkan saya pada kehadiran TUHAN. Rasanya sudah selayaknya dan sepantasnya bila saya meluangkan lebih banyak waktu lagi bersamaNYA.
saya jadi ingat bahwa saya pernah menuliskan sesuatu yang ternyata masih cocok untuk menjadi permenungan pada keping ini . –maaf kalau sudah pernah membacanya-




Menyusut

Berapa jumlah hari dalam hidupku
Kukenangkan untuk mengingat
Segala kebaikanMu padaku

Berapa waktu dalam hariku
Kugunakan untuk sekedar tahu
Bahwa Engkau itu ada

Berapa jam dalam waktuku
Kuluangkan untuk menyadari
Kalau Engkau itu bersamaku

Berapa menit dalam kebersamaan itu
Kuberikan untuk menjumpai
Engkau dalam hatiku

Berapa detik dalam menit itu
Kukosongkan untuk bisa berdoa
Walau hanya celoteh belaka

Berapa saat dalam doaku
Kupahami dan kuhayati benar
Setiap ucapanku kepadaMu

Berapa lama dalam pemahamanku
Kuyakini sungguh-sungguh
Bahwa Engkau itu Allahku


Jul 29th, 2003

Well…?

(24) MEMBERI ATAU MENERIMA HADIAH?


Suatu siang di tengah keriuhan pasar, tiba-tiba Rm.Wahyu bertanya: “irene mau hadiah ulang tahun apa?”. Waktu itu saya tidak menginginkan apa-apa. Karena Rm.Wahyu mengatakan bahwa Beliau bingung mau memberikan apa pada saya, sifat usil saya timbul dan saya jawab dengan canda: “Minta Misa!” dan dijawab Romo: “Wah, mahal itu harganya!!!”
Sudah beberapa tahun terakhir ini, setiap kali saya menerima hadiah ulang tahun, saya selalu berpikir, sebenarnya apakah saya memang pantas menerima hadiah, padahal sepertinya saya belum memberikan apa-apa dalam kehidupan ini. saya menerima begitu banyak hadiah dari Tuhan, namun apa yang selama ini sudah saya berikan padaNya? saya juga menerima begitu banyak kasih dari sesama, tapi apa yang sudah saya berikan kepada mereka?
Maka mungkin, saat ulang tahun adalah saat yang baik bukan hanya untuk menerima hadiah, namun juga menoleh ke belakang dan melihat, apa yang sudah saya buat dalam satu tahun terakhir hidupku; sejauh mana saya sudah memahami dan menjalankan hidup dengan baik. Hingga saya pun bisa menatap ke masa depan dan membuat tujuan apa yang hendak saya perbuat dalam hidup ini. Tapi sepertinya, saya belum berbuat apa-apa yang berarti. Mudah-mudahan tahun depan, bila saya menoleh ke belakang, saya semakin mampu bersyukur atas indahnya kehidupan ini, dan menatap ke depan dengan lebih mantap. Dan seperti kata Pater Dehon: “To live is to share”
Well…?


The End

EPILOG:

Kulihat hidup ini seperti sekumpulan keping yang dapat dibentuk menjadi suatu gambar. Segala peristiwa bisa saling kait mengait dan tak jarang bila kita menemukan keping yang tepat, kita tidak bisa langsung dapat mengaitkannya. Kadang perlu sejenak dua jenak untuk sekedar memposisikan keping-keping itu agar dapat melekat dengan baik.

Puzzleku ini belum selesai, masih banyak kepingan-kepingan yang tercecer dan belum kutemukan maknanya. Entah gambar apa yang hendak IA tunjukkan melalui kehidupanku ini, namun aku percaya IA menyiapkan suatu gambar yang baik.

Semoga harta karun yang kutemukan melalui beberapa keping puzzle hidupku di Giri Nugraha, dapat juga menjadi harta karunmu. Siapa tahu, ternyata kita sedang menyusun puzzle yang sama dengan kepingan yang berbeda.

Well...?

Jkt, 18122007 23:46
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

NB: terima kasih untuk semua yang telah membacanya, juga untuk komen2nya baik via email, YM, sms ataupun secara lisan. God bless u all!