Saturday 20 December 2008

Sekedar Mengantar...

Halo semua yang kebetulan mampir disini,
seperti yang tertera di header blog ini, ini adalah catatan saya selama saya belajar mendampingi orang muda di Rumah Retret Giri Nugraha (RRGN). Dalam hal ini saya dibantu oleh tim retret RRGN untuk mengenal lebih dekat bagaimana cara mendampingi orang muda dalam spiritualitasnya.
Semua catatan ini pernah saya kirim kepada beberapa orang dan hanya saya simpan untuk dokumentasi pribadi, namun saya memutuskan untuk membukanya dan membaginya.
Maka, tidak ada yang lain yang saya harapkan selain tempat ini dapat menjadi berkat bagi siapapun yang membacanya.

salam damai,

bintang

PROLOG:


Sahabat-sahabatku dan Karib-karibku,
Beberapa email dengan judul yang serupa di atas adalah sekedar sharing dari pengalaman-pengalamanku di Rumah Retret Giri Nugraha, Palembang. Isinya tentu beraneka ragam.
saya tidak mempunyai maksud lain selain sekedar berbagi cerita pada kalian semua. so, just enjoy it. siapa tahu, ternyata kita sedang menyusun puzzle yang sama dengan kepingan yang berbeda. Well,...?

(1) ES JERUK BIASA YANG LUAR BIASA


Ketika tiba di RR, saya langsung dihantar ke ‘sarang’ saya, di St.Familia. Tidak lama kemudian, saya disuguhi ‘welcome drink’ segelas air jeruk, lengkap dengan es batunya. Wuih, nikmat sekali. Tanpa pikir panjang, langsung saja saya ambil dan saya teguk isinya. Wek, dingin banget! saya kaget, tidak menyangka bakal sedingin itu. saya baru ingat, kalau belakangan saya jarang minum es. Wah, kok jadi katrok gini,…. Padahal dulu saya suka sekali minum es.
Ternyata, meskipun dulunya penggemar minuman dingin, saya tidak bisa langsung meneguk yg dingin. Akhirnya saya harus memilih, meminum perlahan-lahan atau meninggalkan es jeruk itu hingga tidak ber’es’ dan tidak lagi nikmat. saya memilih meminumnya perlahan-lahan sampai saya menghabiskan es jeruk itu dengan satu tegukan terakhir yang besar dan nikmat. Puas!
Ternyata, kembali ke kebiasaan yg dulu pernah kita lakukan tidaklah semudah itu. Perlu proses untuk kembali menjadi “biasa”. Perlu sejenak untuk kembali beradaptasi pada sesuatu yg pernah menjadi kebiasaan.
Ternyata kebiasaan untuk dekat dengan Tuhan pun menjadi seperti es jeruk itu. saya sering merasakan jauh dari Tuhan lalu mulai mengatakan dalam diri: “Dulu aku ngga gini kok. Dulu aku rajin doa dan rasanya dekat dengan Tuhan. Dulu aku bisa menghadapi kesulitan dengan hati ringan. Kok sekarang ngga ya?...Wah, aku harus kembali seperti dulu”
Mudah? Enggak tuh! Tidak bisa langsung biasa lagi. Buktinya di RR saya tidak langsung bisa tidur pada waktunya, mengikuti dinamika retret sebagaimana pernah saya lakukan, berdoa seperti yang pernah saya lakukan, dst. Padahal semuanya itu pernah menjadi suatu yang biasa.
Ternyata, yang biasa pun bisa jadi luar biasa, dan yang luar biasa itu perlu waktu untuk menjadi biasa. Perlu ‘meminum’ sedikit-sedikit untuk kembali menjadi biasa pada sesuatu yang sudah pernah biasa.
Well…?

(2) MUKA IRIT


Sore itu, saya mendampingi retret SMP. Isinya tentang sharing perjuangan hidup panggilan dan kebetulan yang menjadi bintang tamu alias pembicaranya adalah Romo Priyo.
Selesai sesi, saya mengantar Rm.Priyo turun ke tempat suster. Sebagaimana layaknya tuan rumah dan tamu yang baik, kami berbincang hal-hal yang ringan seputar peserta retret. Mulai dari kapan selesai retret, berapa jumlah pesertanya, siapa yang mendampingi dll. Semua pertanyaan bisa saya jawab dengan baik, sampai Beliau dengan polosnya bertanya:
“Wali kelas kamu siapa?”. Haa?? Kali ini saya cengo’ dengan pertanyaan Beliau yg kok rada ngga nyambung. Ooo….saya tahu, dan langsung saja saya jawab: “Rm.Wahyu!”. Haa?? Gantian Beliau yang cengo’ mendengar jawaban saya. Hahaha…. saya tidak bisa menahan senyum. Langsung saja saya katakan: “Romo, saya ini salah satu dari tim retret bukan retretan”.
“Hah? Ooo… saya kira kamu itu salah satu dari mereka yang di atas tadi!” kata Rm.Priyo. Gubrak deh! Untuk kesekian kalinya saya disangka retretan.
Memang banyak orang yang bilang klo muka saya ini muka irit. Muka yang tidak banyak berubah dari dulu. Waktu SMA saya dikira SMP, waktu kuliah saya dikira SMA, waktu kerja saya dikira kuliah, nah sekarang malah disangka SMP. Hahaha, ini adalah salah satu kreatifitas Tuhan dan yang pasti, berkat bagi saya, karena retretan dan banyak orang yang hadir dalam hidup saya menjadi tidak segan untuk dekat dengan saya karena merasa saya lebih muda dari mereka.
Pasti banyak hal unik yang Tuhan ciptakan dalam hidup kita, yang mungkin baru kita sadari setelah banyak orang mengatakannya. Seperti jendela Jauhari; kamu tahu aku tidak tahu, pindah menjadi jendela aku tahu kamu tahu. saya jadi semakin merasa bahwa saya masih sering perlu penolong untuk tahu bahwa Tuhan itu ada.
Well…?



Info terselip:
Semua yg saya tulis dalam Puzzle Ginu terjadi sekitar tgl 23 Okt 07 s/d 23 Nov 07. Waktu persisnya saya tidak ingat karena tidak terekam dalam memori saya yg hanya muat beberapa byte.

(3) CARA AMPUH UNTUK MEMINTA


Pagi itu saya berada di sekretariat untuk menyiapkan materi retret. Seorang karyawati RR, namanya Tina, datang membawa termos air panas untuk mengganti air termos yang kemarin. Sambil menyapa, ia masuk dan melakukan apa yg harus ia lakukan.
“Mbak, ajarin aku bahasa Inggris dong!”
Suara Tina yang tiba-tiba membuat saya spontan mengangkat kepala dan memandang dia. saya tersenyum dan balik bertanya: “Ajarin bahasa Inggris?” Tina mendekati saya lalu menjelaskan “Iya, mbak. Biar bisa ngomongnya gitu lho, Mbak. Aku waktu itu pernah kirim sms pake bahasa inggris, trus dibales sama temenku: ‘kamu itu orang indonesia apa orang inggris tho? Klo orang inggris kok bahasa inggrisnya salah semua!’ Sejak itu aku malu klo mau ngomong.”
Dengan senang hati saya mau membantu Tina dan mulai saat itu, bila bertemu dengan Tina, saya akan memberi pertanyaan dalam bahasa Inggris dan Tina menjawabnya. Bahkan, bila saya tidak memberi pertanyaan, Tina justru menagih: “Mbak, kasih pertanyaan dong!”
Sebenarnya yg membuat saya mau membantu Tina bukanlah kemampuan saya dalam berbahasa Inggris, melainkan cara Tina untuk meminta pada saya. Itulah yang berkesan dan mengena di hati saya.
Tina bukanlah karyawati yg mengenal saya. Yang ia tahu hanyalah bahwa saya datang dari Jakarta untuk membantu tim RR dan saya bisa bahasa Inggris. Itu saja. Tapi dgn hal yg sedikit itu, dia berani meminta apa yg dia kehendaki. Bahkan lebih jauh lagi, dia mau mendekati saya lalu menjelaskan mengapa dia meminta hal itu.
Ketika saya mengingat kejadian ini, saya merasa kerdil di hadapan Tuhan. Kadang saya merasa harus mengenal Tuhan lebih jauh dan lebih dalam lagi. saya sering tidak puas dengan TUHAN yang saya kenal sekarang ini. Ketidakpuasan membawa saya pada rasa tidak berani untuk mengajukan permohonan, atau lebih parah lagi, saya tidak benar-benar mempercayai bahwa TUHAN bisa melakukan sesuatu. Kedua, saya ingat betapa sering saya meminta ini dan itu pada TUHAN, tapi saya hanya berseru mendikte tanpa mau mendekat padaNYA apalagi menjelaskan mengapa saya memerlukan ini itu tadi. “TUHAN serba tahu” menjadi alasan untuk menyingkat doa, namun sesungguhnya saya yang malas untuk menjelaskan, atau sebenarnya ada rasa sungkan untuk mengakui bahwa saya perlu memohon pertolonganNYA alias rasa sombong. Ketiga, lemahnya usaha saya untuk memohon hal yang sama bila belum terkabul. Acap kali kita berdoa untuk sesuatu/mendoakan org lain hanya pada saat itu saja. titik. Satu kali sudah cukup. Tidak mau diri menjadi repot hanya untuk mengulang permohonan yang sama.
Bila saya, manusia yg kerdil kasih ini, menjadi luluh karena cara Tina meminta, bagaimana TUHAN yang Maha Kasih tidak meluluh hatiNYA bila kita berani meminta dengan cara Tina, meski hanya sedikit yang kita ketahui tentang ke”MAHA”an TUHAN?
Well…?

(4) MANGGA DAN SAHALA


Sahala, karib saya yg satu ini getol banget sama yg namanya mangga. Tiap kali ada mangga di RR, whus… langsung dia sambar sambil berseru: “Wah, ini enak ini!”. Saking getolnya dia pada mangga, image Sahala melekat pada mangga –Sorry, La’ bukannya ngeledek!- sampai pulang ke Jkt klo lihat mangga saya langsung ingat Sahala. Terus, so what gitu lho?
Nah, saya jadi ingat sebuah kalimat waktu SMA kls 1 –Siska, Ton2, Macan, mungkin inget pak Sylvester guru agama kita itu lho…-. Kalo gak salah bunyinya: “Res Clamat ad Dominum” artinya klo saya ngga salah inget: “Semua benda berteriak pada Tuannya”. Dalam hal ini, bagi saya, mangga selalu berteriak pada Sahala.
Begitu banyak wujud kasih (benda2, perhatian, kepedulian, pengalaman bersama) yang selama ini diberikan pada saya, dan sebenarnya wujud itu selalu berteriak mengingatkan saya pada siapa ‘tuan’nya, orang yang memberikan kasih itu pada kita. Begitu banyak hal yang saya gunakan dan nikmati dalam kehidupan ini, namun betapa sering saya melupakan mereka yang memberikannya.
Coba saja, kalau saya memandang barang-barang di meja dengan sungguh-sungguh, saya baru ingat ada pena biru dari Wayan, teman sebangku saya waktu SMA; lilin dari Leny, teman kuliah saya; pensil warna sisa yang dibelikan org tua saya ketika saya masih TK, dll. Semua barang-barang itu memberikan warna-warni kenangan dan berbagai kegunaan dalam hidup saya. Tapi saya seringkali lupa dengan mereka yang memberikan semua itu. Padahal tanpa mereka, wujud kasih ini takkan ada di hadapan saya. Bila saya jarang mengingat mereka, bagaimana saya bisa berdoa untuk mereka, bagaimana saya bisa membalas kasih mereka, dan terlebih lagi, bagaimana saya bisa berterima kasih pada “Sang Pemberi” yang telah banyak memberikan ini dan itu dalam kehidupan saya.
Nah, mungkin sekarang saya/kita harus lebih banyak mendengar wujud-wujud kasih yang berteriak pada tuannya mengingatkan kita pada mereka yang sedang dan pernah hadir dalam kehidupan kita. Yang lebih penting, kita juga bersyukur karena Sang Pemberi itu sendiri, bukan hanya sekedar apa yang IA berikan. Menurut saya, bukan apa yang diberikan yang berharga, melainkan SIAPA pribadi yang memberikan. (kalo pake kurir, lain lho ya masalahnya!)
Well…?

(5) YANG KEPANASAN SIAPA SIH?


Siang menjelang sore, usai mendampingi retretan, saya kembali naik ke ‘sarang’ saya. Ketika saya masuk Familia*, saya mendapati meja berantakan dengan sebuah kardus, beberapa buah-buahan, bungkusan sisa permen, dll. Beberapa pintu kamar terbuka lebar dan kipas angin juga dalam keadaan menyala. saya maklum, karena memang ada 4 orang tamu yg kemarin menginap di Familia, dan siang tadi mereka sudah pergi rupanya. Tanpa pikir panjang, saya bereskan kekacauan itu. Terakhir, saya mencabut kabel yang terhubung dengan kipas angin. Kipas pun segera kehilangan tenaganya dan berhenti berputar. Kemudian saya keluar ke balkon untuk mengambil handuk. Ketika saya masuk kembali, sekitar 5 detik kemudian, trust no trust (percaya gak percaya!), kipas angin itu menyala dan kabel dalam keadaan tertancap pada stopkontak. Lho?!?
Tapi sebelum bulu kuduk sempat berdiri tegak, dengan polosnya saya katakan: “Sorry ya, kipasnya tak matiin soalnya aku ngga kepanasan. Klo kamu kepanasan ya nyalain lagi aja!” lalu saya kembali mencabut kabel kipas tsb. Kali ini saya tunggu sampai baling2 benar-benar berhenti. Lalu saya pergi mandi. Sambil mandi saya berpikir lagi, apa tadi saya belum mematikan kipas sehingga masih menyala? Tidak. saya yakin sudah, dan saya yakin tidak ada yang masuk ke Familia ketika saya keluar ambil handuk.
Hmm,… ternyata hal-hal yang tidak terpegang nalar dan akal (sebut saja hal ajaib untuk membedakannya dengan hal gaib) sering jadi hal yang menarik untuk dibahas. Why? Kalau menurut saya, itu karena hal-hal ajaib tsb berada di tengah-tengah. Di satu sisi, hal ajaib ada di luar kendali manusia, tapi di sisi lain, ada di dalam lingkup kendali Tuhan.
Mungkin itu juga sebabnya kenapa kita lebih tertarik dengan judul: “Memindahkan janin yang tidak diinginkan tanpa aborsi” daripada judul: “Angin ribut diredakan”. Masalahnya, kita sudah ‘terlanjur percaya’ bahwa Tuhan bisa melakukan segalanya, dan karena itu, perbuatan/hal-hal ajaib yang berkenaan denganNya tidak lagi menarik. Jujur saja, saya sering bosan dengar cerita tentang Tuhan yang hebat. Semua pertanyaan tentang kehebatan Tuhan selalu berhenti pada jawaban: “Ya, karena TUHAN itu Maha Kuasa” dan jawaban itu membuat saya tidak lagi ingin bertanya: “Bagaimana caranya Tuhan bisa melakukan hal itu?”
Herannya, TUHAN tidak pernah bosan dengan saya yang biasa-biasa saja.
Well…?


* buat yg blm tahu: St.Familia itu bentuknya seperti villa; sebuah gedung dengan beberapa kamar dan kamar mandi dan letaknya di lantai 2.